...
Kita berada di dalam pusaran tata warna
yang ajaib dan tak terbaca.
Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan.
Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan.
Dan bila luput,
kita memukul dan mencakar
ke arah udara
...
-Sajak Anak Muda by W.S. Rendra-
Nasihat menohok dari pemilik warung...
Kadang
saya memikirkan peristiwa-peristiwa kecil di sekitar saya, baik yang
saya lihat maupun dengar. Lintasan-lintasan pikiran tentang
peristiwa-peristiwa itu kadang sulit sekali saya hilangkan. Bahkan, tak
jarang terbawa sampai mimpi. Tak jarang ketika saya
baru terbangun dari tidur saya langsung mendapat ide untuk memecahkan
masalah-masalah di sekitar saya atau setidaknya pada kondisi tersebut
memudahkan saya untuk berpikir dan mendapat inspirasi.
Ada
satu peristiwa yang hingga saat ini menggelayut di otak saya. Pekan
lalu kapan dulu saat saya bersama beberapa kawan saya jalan-jalan refresh ke lembangnya sumsel versi palembang. Pagar Alam. Di sekitar kebun teh saya bertemu dengan seorang pemilik warung
yang memperkenalkan dirinya dengan kuniah Abu Anas. Walaupun
terkadang penampilan itu menipu dan menurut saya tidak substansial, dari
luar dia tampak seperti orang yang taat beragama: berpeci, ujung celana
diatas mata kaki, dan janggut panjang.
Singkat cerita beliau mengajak kami berdiskusi. Diskusi berlangsung cukup panjang dengan tema yang cukup luas dari seputar wisata pagar alam, tujuan hidup, hakikat ilmu, modernisasi, cara menjalani hidup, dan lain-lainnya. Banyak perbedaan pendapat antara saya dan dia. Ingin rasanya mendebat tapi waktu sudah sore dan kami belum sempat ke tempat-tempat lainnya kemudian kami mohon pamit. Namun, ada sepenggal nasehatnya yang cukup menampar dan melekat di fikiranku. Bahkan sampai detik ini. Beliau menjelaskan tentang tanggung jawab orang-orang berilmu. Menuntut ilmu itu wajib tapi ketika ilmu telah didapat maka tanggung jawab seseorang bertambah. Ilmu itu dituntut untuk diamalkan ,menjadi sebuah tindakan. Toh yang meyelamatkan kita di hari akhir nanti adalah amalan kita, bukan ilmu. Lantas saya bertanya pada diri saya, “Sudah benarkah orientasi saya belajar, mendengarkan kuliah, membaca buku? Apa benar untuk jadi tindakan atau sekadar pengetahuan beku?”
Singkat cerita beliau mengajak kami berdiskusi. Diskusi berlangsung cukup panjang dengan tema yang cukup luas dari seputar wisata pagar alam, tujuan hidup, hakikat ilmu, modernisasi, cara menjalani hidup, dan lain-lainnya. Banyak perbedaan pendapat antara saya dan dia. Ingin rasanya mendebat tapi waktu sudah sore dan kami belum sempat ke tempat-tempat lainnya kemudian kami mohon pamit. Namun, ada sepenggal nasehatnya yang cukup menampar dan melekat di fikiranku. Bahkan sampai detik ini. Beliau menjelaskan tentang tanggung jawab orang-orang berilmu. Menuntut ilmu itu wajib tapi ketika ilmu telah didapat maka tanggung jawab seseorang bertambah. Ilmu itu dituntut untuk diamalkan ,menjadi sebuah tindakan. Toh yang meyelamatkan kita di hari akhir nanti adalah amalan kita, bukan ilmu. Lantas saya bertanya pada diri saya, “Sudah benarkah orientasi saya belajar, mendengarkan kuliah, membaca buku? Apa benar untuk jadi tindakan atau sekadar pengetahuan beku?”
Paradoks, di mana salahnya?
Barangkali
sering kita temukan paradoks. Mengapa ada seorang yang pandai
matematika di kelas tapi ia kesulitan memecahkan persoalan sehari-hari
yang membutuhkan logika matematika sederhana? Mengapa ada lulusan
pesantren yang tidak bermoral? Mengapa ada psikolog yang tidak peka dan
empati pada keadaan sekitarnya? Mengapa ada mahasiswa manajemen yang
mengelola waktu atau sekedar memimpin rapat tidak efisien? Kenapa seorang
mahasiswa teknik elektro tidak tahu cara memperbaiki kabel listrik
rumah yang rusak? Atau mengapa seorang mahasiswa informatika tak mampu
mengidentifikasi kerusakan pada komputernya?
Setelah saya
renungkan, mereka (juga saya) memiliki kesalahan dalam orientasi
belajar. Menuntut ilmu sekadar untuk menjadi pengetahuan atau mendapat
nilai. Terkadang hanya terpaku pada kerangka teoretis tanpa
mengaitkannya dengan realita sehingga ilmu terbentur pada goresan kertas
soal, layar proyektor, atau langit-langit kelas yang rendah. Mungkin
lebih parah, saat belajar formal di ruang kelas hanya menjadi rutinitas
atau salah satu fase dalam hidup sehingga merasa hidup “aman” dan
“nyaman” dengan mengikuti mainstream : sekolah, kuliah, kerja, kaya, menikah, punya anak, lalu mati.
“ The aim of study is action, not knowledge.” ( Herbert Spencer)
Belajar dari Sayyid Quthb
Seolah ulu hati saya serasa remuk saat membaca buku Sayyid Quthb, Ma’alim Fiththariq. beliau menjelaskan bahwa kehebatan generasi sahabat bukan semata-mata
karena di sana ada rasulullah, sebab jika ini jawabannya berarti Islam
tidak rahmatan lil ‘alamin. Kehebatan mereka terletak pada
semangat mereka untuk belajar lalu secara maksimal mengamalkannya.
Mereka mengambil ilmu langsung dari sumber yang terpercaya, mereka
melepaskan ikatan emosional dengan kejahiliahan, dan yang terpenting
menurut Sayyid Qutb : mereka menuntut ilmu dengan kesiapan diri
yang sangat tinggi untuk bertindak, laksana prajurit yang bersiap
menunggu titah komandan.
Sedikit kesimpulan dari perenungan..
Secara
akademik, ah, saya jauh dari kategori mahasiswa berotak cemerlang.
Saya juga tidak biasa membaca buku-buku filsafat, membicarakan hal-hal
bersifat filosofis teoritis dan berat seperti beberapa kawan2 saya. Tetapi, kalau
disuruh menjelaskan apa itu pendidikan, saya akan berkata bahwa
pendidikan itu ialah proses perubahan dan perbaikan
manusia menuju titik kesempurnaan, sedangkan titik kesempurnaan itu
bukan berarti bisa segalanyaaa, tapi kondisi saat manusia itu mampu
mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya. Lalu bagaimana mengetahui
titik optimalnya? Sederhana, yaitu saat umur kebaikannya jauh lebih
lama dari umur hidupnya. Pada intinya, pendidikan itu berarti perubahan,
perubahan individu maupun perubahan kolektif. Jika seseorang yang
mengaku telah berpendidikan, tapi ia tidak bisa merubah dirinya dan
lingkungan sosialnya maka pada hakikatnya ia belum terdidik. Terlepas
dari kebengisannya, saya kagum pada Lenin, karena di tangannya, Communist Manifest-nya
Karl Marx bisa jadi revolusi Bolshevik menggulingkan kekuasaan Tzar di
Rusia. Pun juga dengan Khomeini, karena ditangannya Al-Qur’an
mampu menjadi sumber inspirasi bagi Revolusi Iran tahun 1979
mengulingkan Shah Reza yang tiran lagi korup.
Kesimpulannya,
orientasi belajar adalah tindakan, buka sekadar pengetahuan. Seseorang
yang belajar harus mampu ikut memperbaiki untuk lingkungan sosialnya, atau sekurang-kurangnya
memperbaiki dirinya sendiri. Biarpun kecil, menulis juga tindakan.
Mungkin ada yang mencibir, “ Ah, berwacana, ga ada perubahan !!”
Seumur hidupnya, tak ada satu pun perubahan sosial yang tercatat dalam
sejarah dilakukan oleh Karl Marx. Tapi berkat tulisannya, banyak
perubahan sosial dan revolusi terjadi...
#sekedar coratcoret pengingat diri kalo2 lg berat ngantor, kuliah, kontribusi, beramal, dan ibadah. Istiqomah fa yaaa, SEMANGAAAT:)! Biar kita jadi anak baik.. biar kita jadi anak sholihah. huks